Apakah kamu pernah merasa gelisah saat melihat postingan teman yang sedang liburan di tempat eksotis, sementara kamu hanya berdiam di rumah? Atau merasa iri saat melihat postingan teman yang selalu terlihat bahagia dan sukses? Bermain media sosial mulai membuatmu cemas dan lupa waktu? Hati-hati, bisa jadi itu gejala FOMO!
Apa Itu FOMO?
FOMO (Fear of Missing Out) adalah perasaan takut atau cemas yang muncul ketika kita merasa ketinggalan informasi, pengalaman, atau kesempatan yang sedang dialami orang lain. Fenomena ini menjadi semakin umum di era digital, di mana media sosial memberikan akses tanpa henti ke berbagai postingan yang sering kali menampilkan sisi terbaik dari kehidupan orang lain.
Rasa penasaran yang tinggi, kebutuhan akan validasi, kecanduan media sosial, hingga kurangnya literasi digital kerap memicu netizen terjebak dengan FOMO. Gangguan emosional ini dapat mengancam kesehatan mental maupun fisik kita, seperti gangguan tidur, penurunan produktivitas, hingga depresi.
Pada seminar bertajuk "Digital Wellbeing untuk Mengatasi FOMO" yang diselenggarakan oleh Universitas Sahid Jakarta, Defira, Program Manager ICT Watch dan Dr. Geofakta Rozali (Ahli Psikologi Komunikasi) berbagi wawasan tentang bahaya FOMO. Seminar tersebut merupakan kegiatan yang dikelola oleh para mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam praktik mata kuliah Manajemen Event dan Publikasi.
Dalam kegiatan yang dibuka oleh rektor Prof. Dr. Ir. Giyatmi, M.Si tersebut Defira menekankan bahwa FOMO tidak hanya sekadar perasaan iri atau ingin ikut-ikutan. Lebih dari itu, FOMO dapat memicu perbandingan yang tidak sehat, menurunkan rasa percaya diri, hingga memunculkan kecemasan.
Atasi FOMO dengan Fitur Digital Wellbeing & Parental Control
Untuk menghindari FOMO dan menciptakan kebiasaan digital yang sehat, kamu bisa memulai langkah kecil, seperti mengenali perasaan. Ketika timbul rasa cemas atau iri karena melihat postingan tertentu, fokuslah pada hal-hal yang bisa kamu syukuri.
Selain itu, kamu juga bisa manfaatkan fitur ‘Digital Wellbeing and Parental Control’ atau ‘Kesehatan Digital dan Kontrol Orang Tua’ yang tersedia di pengaturan ponsel. Dengan fitur ini, kamu bisa melakukan beberapa hal, seperti:
- Melihat waktu penggunaan ponsel dan aplikasi.
- Mengatur batas waktu penggunaan aplikasi.
- Mengaktifkan mode fokus untuk menghindari distraksi.
- Mengatur waktu tidur, sehingga penggunaan media sosial dapat dibatasi secara otomatis.
(Pelajari lebih lanjut tentang Digital Wellbeing & Parental Control di Buklet JEDA)
Kapan Harus Membatasi Media Sosial?
Salah satu peserta seminar, Joshinta, seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi, mengajukan pertanyaan penting: "Kapan kita harus membatasi penggunaan media sosial agar terhindar dari FOMO?"
Menentukan waktu yang tepat untuk membatasi media sosial memang tidak mudah karena setiap orang memiliki kebutuhan dan kebiasaan yang berbeda. Namun, ada beberapa tanda yang bisa dijadikan acuan, seperti:
- Perasaan Tidak Nyaman. Jika media sosial membuatmu merasa terlalu marah, sedih, atau cemas, itu adalah sinyal untuk mengambil jeda.
- Gangguan Produktivitas. Jika produktivitas menurun karena terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk scrolling, saatnya mengevaluasi kebiasaanmu.
- Kehilangan Fokus pada Kehidupan Nyata. Ketika interaksi di dunia nyata terganggu atau kamu merasa kewalahan oleh tekanan untuk terus "terkoneksi," inilah waktu untuk berhenti sejenak.
Pentingnya Niat dan Mencintai Diri Sendiri
Fitur digital wellbeing adalah alat bantu yang sangat berguna, namun keberhasilan dalam mengelola media sosial tetap bergantung pada niat dan komitmen dari diri kita sendiri. Dengan kesadaran dan konsistensi, kita dapat menjadi netizen yang bijak dan terhindar dari bahaya FOMO.
Mulailah dengan langkah kecil, dan jadikan kesehatan digital sebagai prioritas dalam kehidupan sehari-hari. Ingat, media sosial adalah alat, bukan tujuan. Kita yang mengendalikannya, bukan sebaliknya!
Comments
Post a Comment